Nasib Industri Tembakau Indonesia Jika RPP Kesehatan Disahkan
SENANDIKA.REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Industri rokok telah ada lama sejak era 1960-an seperti yang dikisahkan dalam serial original Netflix Indonesia “Gadis Kretek”.
Tetapi kini, industri tembakau sedang dibuat gelisah dengan adanya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan, khususnya dalam poin tentang zat adiktif.
Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kementerian Kesehatan, Sundoyo mengatakan, bahwa RPP Kesehatan disusun dengan memperhatikan titik keseimbangan antar-Kementerian.
Artinya, ketika khawatir menyangkut soal PHK massal, maka Kemenaker akan ikut angkat bicara. Atau ada kekhawatiran dampak pada industri, maka nanti pihak-pihak dari industri akan ikut memberikan pandangannya.
Dalam perumusan RPP Kesehatan, setidaknya ada 28 kementerian dan lembaga yang dilibatkan dan masing-masing punya fokus spesifik, misalnya kesehatan, industri, dan ketenagakerjaan.
“Suara-suara (antar kementerian dan lembaga) ini yang akan kita rumuskan bersama, dengarkan bersama. Sehingga rumusan di dalam pasal-pasal yang ada di RPP terkait dengan produk tembakau, ada keseimbangan,” kata Sundoyo pada diskusi daring yang diselenggarakan Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI), beberapa waktu lalu.
Kemenkes sebagai pemrakarsa RPP Kesehatan, melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, dengan harapan dapat memasukkan aspirasi dan kepentingan publik untuk diakomodir lebih lanjut.
Proses koordinasi antar-Kementerian ini masih terus berlangsung, di mana Kemenkes menargetkan RPP Kesehatan dapat rampung di akhir November 2023 ini.
Sundoyo mengambil contoh pada pasal terkait pengamanan zat adiktif tembakau. Secara konsepsi, menurut Sundoyo, pengamanan zat adiktif yang ada pada RPP Kesehatan tidak berbeda jauh dengan apa yang ada pada PP No. 109 tahun 2012. Tapi Sundoyo menegaskan, isi dari RPP Kesehatan harusnya sesuai dengan Undang-Undang No. 17 tahun 2023.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum DPP AAKI, Trubus Rahardiansyah, sepakat mengenai perlunya titik keseimbangan antarsektor dalam pembahasan pengamanan zat adiktif.
“Ini memang ada ketakutan terkait dengan PHK, yang sudah disinggung oleh Pak Sundoyo. Karena saat ini ada industri lain yang melakukan PHK besar-besaran, dengan alasan efisiensi. Sehingga wajar jika muncul kekhawatiran ini,” kata Trubus.
Selain itu, Trubus juga menggarisbawahi momen tahun politik yang terjadi saat ini. Menurut dia, banyak petani yang tidak setuju dengan komponen RPP Kesehatan, karena khawatir akan dampaknya terhadap mata pencaharian mereka.
Trubus menyebutkan bahwa ada sekitar 24 hingga 27 juta orang dalam ekosistem tembakau, berdasar data yang Ia dapat dari Partai Keadilan Bangsa (PKB).
Sehingga perlu adanya diskusi yang lebih matang dengan mempertimbangkan segala aspek, termasuk juga keseimbangan antar-Kementerian.