Lentera
Bedah Buku ‘Nikel Indonesia: Kunci Perdagangan Internasional’, WTO Rules dan Potensi Nikel Indonesia
SENANDIKA.REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Laboratorium Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) menggelar bedah buku “Nikel Indonesia: Kunci Perdagangan Internasional”. Mahasiswa yang mengikuti acara ini pun mengaku senang, karena mereka bisa lebih memahami seperti apa WTO Rules dan potensi nikel Indonesia.
“Bedah buku ini memberikan pemahaman baru bagi saya, mengenai pentingnya pemahaman terhadap WTO Rules dan potensi nikel Indonesia di dunia internasional,” ucap mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed, Alam Anugrah Ramadhan, dalam acara yang digelar Kamis (16/11/2023) itu.
Dalam bedah buku ini, Laboratorium Ilmu Politik Fisip Unsoed mengundang pakar hukum pendagangan internasional, Elisa Sugito, yang membahas lebih lanjut mengenai potensi perdagangan nikel Indonesia di dunia internasional. Selain itu, membahas juga terkait berbagai gugatan internasional terhadap kebijakan ekspor bijih nikel Indonesia.
“Indonesia menjadi negara penghasil nikel terbesar di dunia. Dengan potensi yang dimiliki Indonesia saat ini, menjadi penting untuk merumuskan kebijakan ekonomi kembali guna menambah nilai hasil produksi nikel milik Indonesia,” ungkap Elisa.
Ia menilai dengan adanya kebutuhan nikel dunia yang saat ini sangat besar, menjadikan nikel sebagai komoditas primadona di tengah glorifikasi mengenai green energy dan Net Zero Emission (NZE). Indonesia saat pun masih dalam gugatan di WTO yang diajukan oleh Uni Eropa pada 2019 lalu.
Gugatan itu terkait dengan diundangkannya Permen ESDM No. 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM No. 25 Tahun 2018, tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara yang mana berlaku kebijakan larangan ekspor bijih nikel pada tahun 2020.
“Tetapi Indonesia dalam hal ini harus tetap memiliki kemerdekaan dalam bersikap, yang artinya gugatan semacam ini harus dihadapi dengan tetap memperhatikan WTO Rules, agar Indonesia bisa mempertahankan eksistensinya di pergaulan ekonomi internasional dan tentunya tidak dikucilkan,” papar Elisa.
Dalam tesisnya yang dibuat pada 2021 lalu, Elisa telah memprediksi bahwa Indonesia akan kalah dalam gugatan di WTO terkait dengan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel Indonesia. Hal itu dikarenakan jika merujuk pada WTO Rules memang pelarangan ekspor di semua negara tidak boleh, tapi juga ada larangan ekspor yang dibolehkan oleh WTO.
Di situ, dikatakan Elisa, ada celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia, seperti Tiongkok yang berhasil memanfaatkan celah WTO Rules ini dengan sangat baik. Ia juga memperkirakan banding yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia saat ini akan keluar putusannya sekitar tujuh sampai sembilan tahun lagi.
Namun, Elisa mendukung kebijakan Pemerintah Indonesia terkait dengan hilirisasi, yang menurutnya itu dapat menambah nilai jual dan memberikan multiplier effect ke berbagai sektor. Berdasarkan data yang didapatnya, baik yang sudah beroperasi, dalam masa konstruksi, dan ingin dibangun, terakumulasi mencapai 116 smelter nikel di Indonesia.
Ia mengambil contoh, misalkan nilai nikel ore mentah dihargai 30 dolar AS per ton, ketika menjadi Nikel Pig Iron (NPI) naik 3,3 kali mencapai 90 dolar AS per ton, menjadi Ferronikel 6,76 kali atau setara 203 dolar AS per ton, terus menjadi Niikel Matte naik nilai tambahnya menjadi 43,9 kali atau 3.117 dolar AS per ton lebih.
“Sekarang Indonesia sudah punya smelter menjadikan MHP sebagai bahan baku baterai nilai tambahnya sekitar 120,94 kali 3.628 dolar AS per ton,” ujar lulusan International Trade Law Universitas Indonesia (UI) itu.