Lentera

Tiga Alasan Adanya Rasa Love-Hate Terhadap Dinasti Politik

Unjuk rasa penolakan dinasti politik di Indonesia.

 

SENANDIKA.REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Masyarakat Indonesia sedang ramai memperbincangkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap nge-prank. Ketua MK Anwar Usman merupakan ipar dari Presiden RI Joko Widodo, yang mengabulkan syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Gugatan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 dilayangkan oleh seorang mahasiswa Universitas Surakarta bernama Almas Tsaqibbirru. Almas mengakui bahwa ia mengagumi sosok Wali Kota Solo Gibran Rakabuming yang merupakan anak Presiden RI.

Yang juga membuat tak habis pikir adalah Almas sedang magang di Kartika Law Firm, saat mengajukan gugatan tersebut. Satu orang mahasiswa, yang sedang magang pula, bisa seketika mengubah konstitusi dengan mudahnya. Tentu masyarakat pasti berpikir ada dalang di balik itu semua.

Apalagi calon presiden Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo belum mengumumkan pasangan calon wakil presiden mereka, sementara Anies Baswedan sudah melabuhkan pilihan pada Muhaimin Iskandar. Gibran sudah cukup sering terdengar diteriaki untuk menjadi calon wakil presiden.

Semua fenomena yang dipertontonkan kepada masyarakat Indonesia, jelas membuktikan bahwa nepotisme dan dinasti politik itu masih menjadi fakta tak terbantahkan.

Tetapi secara psikologis, ketika manusia sudah dibantu oleh manusia lainnya, pasti akan timbul rasa utang budi. Lalu secara naluri, setiap manusia juga pasti mendahului keluarga terdekat untuk maju menjadi penguasa, bukan hanya dalam politik tetapi juga dalam sebuah tatanan kelompok apapun itu.

Pada edisi 30 April 2014, Washington Post pernah membahas tiga alasan mengapa warga Amerika memiliki rasa love-hate terhadap dinasti politik. Mereka mengacu pada jajak pendapat terbaru NBC News/Wall Street Journal, yang menunjukkan 69 persen warga Amerika mengatakan mereka ingin dinasti politik Bush dan Clinton untuk tidak mendominasi pemilihan presiden tahun 2016.

Tampaknya, warga Amerika sangat tidak menyukai dinasti, kecuali jika mereka sendiri yang melakukannya. Jadi mengapa warga Amerika sebenarnya menyukai dinasti, meskipun mereka mengatakan mereka membencinya?

 

 

 

 

 

1. Para pemilih yang ragu, cenderung memilih nama yang mereka kenal

Inilah penyebab pertama, karena tidak adanya penantang yang memiliki dana besar, petahana di pemilihan sering kali dipilih kembali dalam jumlah yang jauh lebih menguntungkan partainya dibandingkan jumlah keseluruhan di daerah pemilihannya. Ketika masyarakat tidak mengenal orang lain, mereka cenderung memilih petahana untuk kembali menjabat. Lagipula, ada istilah iblis yang kita kenal lebih baik daripada iblis yang tidak kita kenal.

2. Nama terkenal adalah cara yang bagus untuk memulai

Membangun karier politik sering kali melibatkan naik jabatan, dari jabatan tingkat rendah di negara bagian atau lokal hingga menjadi pejabat besar. Namun ketika keluarga kita telah membina hubungan politik (dan keuangan) di seluruh kota atau secara nasional selama bertahun-tahun atau puluhan tahun, maka hambatan untuk naik jabatan akan jauh lebih rendah.

Ini adalah alasan besar mengapa, seperti yang dicatat Christopher Ingraham di Wonkblog, pemilu didominasi dengan anggota yang ‘kebetulan’ memiliki hubungan dengan mantan anggota. Seperti saat Kennedy mengumumkan kampanyenya di Massachusetts atau Bush di Texas, hal tersebut akan langsung dianggap serius.

3. Dinasti politik dianggap menjadi lebih baik seiring bertambahnya usia

Kecenderungan nostalgia dalam politik Amerika cukup kuat. Hampir setiap presiden yang meninggalkan jabatannya akan melihat lagi nama keturunannya secara bertahap, yang semakin dikenal seiring berjalannya waktu.

Seperti nama Bush yang sangat tidak populer pada 2008. Namun di 2014, masyarakat Amerika terpecah belah bahkan ketika menyangkut nama George W Bush yang dulunya tidak populer dalam sejarah, dan mereka bahkan lebih menyukai nama Bush secara umum.

George HW Bush juga menghadapi masa-masa sulit saat menjabat dulu. Di 2014, dia adalah pria berusia 89 tahun yang tersenyum dan mengenakan kaus kaki berwarna-warni serta berteman dengan pria yang mengalahkannya, Bill Clinton. Dan bahkan, ketika kepresidenan putranya terpuruk pada masa jabatan keduanya, 62 persen warga Amerika mengatakan mereka masih menyukai Bush senior.

Sederhananya, manusia lebih cenderung melupakan hal-hal buruk dan mengingat hal-hal baik tentang dinasti politik. Jadi bagaimana? Apakah mau mengeluh lalu tapi tetap memilih mereka yang berada dalam dinasti, atau justru bersama-sama meruntuhkannya?