Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Study Rizal Lolombulan Kontu

Haji: Dari Titik Balik Perlawanan Kolonial ke Panggung Status Sosial Kekinian?

Agama | 2025-06-06 15:29:09

Dalam sejarah Islam di Indonesia, haji pernah menjadi penanda perubahan besar. Ia bukan sekadar ibadah, melainkan momentum transformatif — sosial, politik, bahkan kultural. Para tokoh besar pembentuk bangsa ini—K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, hingga Haji Misbach, tokoh perlawanan anti-kolonial yang radikal—mengalami pengalaman spiritual di Tanah Suci yang justru memperkuat kesadaran mereka sebagai agen perubahan. Gelar “haji” kala itu tak hanya berarti pernah ke Mekkah, tapi membawa pulang semangat pembebasan.

Namun hari ini, makna itu tampaknya mengalami pergeseran yang signifikan. Haji kini lebih sering tampil dalam bentuk status sosial, postingan media sosial, bahkan sebagai ajang gaya hidup religi. Tak sedikit yang memamerkan momen manasik dengan balutan busana matching, berpose di depan Ka’bah, atau menyisipkan badge “haji” sebagai pencapaian pribadi dalam CV digitalnya. Di titik ini, tampak jelas ada semacam komodifikasi ibadah yang kian tak terhindarkan di era kapitalisme religius.

Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Dalam konteks sejarah, pemerintah kolonial Belanda sebenarnya sudah lama mencium potensi “berbahaya” dari haji sebagai sarana pertukaran ide anti-penjajahan. Sosok seperti Snouck Hurgronje menyarankan agar orang-orang Indonesia yang berhaji diawasi ketat, karena banyak dari mereka bersentuhan dengan pemikiran pan-Islamisme yang memperkuat resistensi terhadap kolonialisme. Lahirnya Ordonansi Haji 1916 adalah bukti kekhawatiran ini.

Tak lama berselang, muncul pula pengkategorian sosial tersendiri. Mereka yang telah haji mendapat gelar prestisius di masyarakat. Kolonial pun memanfaatkannya untuk mendata dan mengontrol: siapa yang telah berhaji, siapa yang perlu diawasi, siapa yang mungkin menjadi penggerak perlawanan. Namun, pasca kemerdekaan, aura itu tetap lekat — meski kini bergeser ke ranah sosial-kultural dan ekonomi.

Kini, antrean haji reguler bisa mencapai 30 hingga 40 tahun di beberapa provinsi. Banyak umat Islam yang tak sabar menanti giliran justru beralih ke paket-paket umrah. Inilah awal dari booming-nya industri travel religi: umrah, plus city tour ke Dubai dan Istanbul, lengkap dengan layanan premium dan hotel bintang lima. Tidak salah jika sebagian mengkritik bahwa umrah telah menjelma menjadi wisata religius kelas menengah, yang lebih mengedepankan pengalaman konsumtif ketimbang spiritualitas substantif.

Menurut Azyumardi Azra, salah satu problem besar umat Islam hari ini adalah meningkatnya kesalehan personal yang tak dibarengi dengan kesadaran sosial. Kesalehan menjadi simbol, bukan praksis. Sementara Taufik Abdullah, sejarawan besar Indonesia, menyebutkan bahwa agama seringkali mengalami perubahan makna seiring perubahan struktur masyarakat. Apa yang dulu menjadi identitas perlawanan kini bisa menjadi tanda eksklusivitas sosial.

Dari perspektif Mazhab Ciputat, hal ini mengindikasikan adanya kebutuhan mendesak untuk menyeimbangkan antara spiritualitas individual dan tanggung jawab sosial. Spirit haji seharusnya tidak berhenti di pelataran Ka’bah atau berakhir di foto Instagram. Ia mesti kembali menjadi etos perubahan, kesadaran kolektif, dan penguatan nilai-nilai keadaban publik.

Pertanyaannya: masih mungkinkah mengembalikan haji ke makna awalnya? Atau apakah kita sudah terlalu jauh dalam menjadikan agama sebagai gaya hidup konsumtif?

Jawabannya mungkin terletak bukan hanya pada reformasi birokrasi haji atau edukasi manasik, tetapi pada pembentukan kembali orientasi keagamaan kita. Bukan untuk menghakimi mereka yang berhaji berkali-kali atau membagikan perjalanannya, melainkan untuk mengajak refleksi bersama: apakah ibadah ini hanya tentang “pergi”, atau tentang “apa yang kita bawa pulang”? (srlk)

* Penulis adalah pemerhati sosial politik keagamaan Mazhab Ciputat. Saat ini mengajar di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komiunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image