
Salah Asuhan: Asing di dalam Budaya Sendiri akibat Sistem Pendidikan Kolonial
Sastra | 2025-05-31 17:07:33
Dalam sejarah sastra Indonesia, novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis (1928) hadir sebagai kritik mendalam mengenai benturan budaya Timur dan Barat. Karya ini tidak sekedar mengisahkan perjalanan cinta Hanafi yang berakhir tragis, tetapi juga menghadirkan dampak kolonialisme terhadap identitas bangsa melalui sistem pendidikan dan pola hidup Barat.
Menghadirkan konflik batin seorang pribumi pada era kolonial, novel ini menggambarkan kisah perjalanan hidup Hanafi yang berakhir tragis. Kisah ini bercerita tidak hanya tentang hubungan asmara yang rumit, namun lebih kepada kegagalan seseorang menemukan tempat di tengah pertentangan nilai Timur dan Barat. Melalui sosok Hanafi, Abdoel Moeis menggambarkan berbagai permasalahan sosial, pengabaian terhadap akar budaya, dan kehancuran yang menyertainya.
Hanafi adalah pemuda Minangkabau yang sejak kecil memperoleh pendidikan bergaya Eropa. Hal ini yang menjadikan pemikirannya mulai menjauh dari tradisi Minangkabau, ia bahkan memandang adat leluhurnya sebagai hal yang kuno dan lebih memilih menghargai nilai-nilai Barat yang dianggapnya lebih maju. Ia mengagumi segala hal yang berhubungan dengan dunia Barat dan menilai adat Minangkabau sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman.
Namun, kekagumannya pada dunia Barat tidak memberinya penerimaan sosial, ketika ia jatuh cinta pada Corrie du Bussee, seorang perempuan Indo-Eropa, hubungan tersebut harus berhadapan dengan realitas sosial yang kejam yang menjadi penyebab utama mereka harus berpisah. Pada momen inilah Hanafi menerima desakan ibunya untuk menikahi gadis yang masih memiliki hubungan kerabat dengannya. Ia menikahi Rapiah, seorang gadis Minang pilihan ibunya, tetapi pernikahan ini dipandang Hanafi sebagai bentuk kekalahan yang tidak memberinya kebahagiaan. Hanafi memperlakukan Rapiah dengan sikap dingin dan merendahkan, ia merasa bahwa perempuan seperti Rapiah melambangkan keterbelakangan dan menjadi simbol kegagalannya menjadi bagian dari masyarakat Eropa.
Hanafi kemudian pergi ke Betawi untuk berobat, dan di sanalah ia berjumpa kembali dengan Corrie. Hanafi akhirnya menikahi Corrie dan meninggalkan Rapiah, anaknya Syafei, serta ibunya di kampung halaman. Namun, rumah tangga Hanafi dan Corrie tidak berjalan semulus yang dipikirkan, mereka harus menghadapi kenyataan pahit bahwa perbedaan latar belakang dan status tetap menjadi penghalang tak kasat mata yang memisahkan mereka. Berbagai rintangan muncul dalam kehidupan rumah tangga mereka, termasuk keterasingan yang dialami keduanya karena banyak masyarakat yang tidak dapat menerima pernikahan campuran seperti ini. Corrie yang awalnya mencintai Hanafi, akhirnya menyerah dan pergi akibat tekanan sosial yang terlalu berat. Meskipun Hanafi berpendidikan, berwawasan luas, dan berpenampilan seperti orang Barat, ia tetap dipandang sebagai "pribumi" di mata masyarakat Barat. Kisah cinta Hanafi dan Corrie yang awalnya indah, akhirnya harus terpisah akibat dari tekanan sosial yang keras.
Hanafi tumbuh dengan pandangan hidup dan nilai-nilai yang berbeda dari masyarakat asalnya. Ia menganggap budaya Eropa sebagai simbol kemajuan dan kebebasan, sementara adat Minangkabau dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Pandangan ini mendorongnya untuk meniru gaya hidup Barat dan perlahan menjauh dan meninggalkan budayanya sendiri.
Namun dalam perjalanannya, Hanafi justru tidak pernah sepenuhnya diterima di dunia Barat. Meski ia berusaha menyesuaikan diri, identitasnya sebagai pribumi tetap melekat di mata orang-orang Eropa. Di sisi lain, masyarakat Minangkabau juga sudah tidak menerimanya lagi karena merasa bahwa ia telah keluar dari adat dan menjadi bagian dari "orang Eropa". Kondisi ini kemudian membuat Hanafi berada di kondisi di mana ia tidak diterima sebagai bagian dari Barat, dan juga tidak lagi dianggap bagian dari Timur. Ia terjebak di antara dua identitas yang tak dapat menerimanya sepenuhnya.
Abdoel Moeis melalui tokoh Hanafi menunjukkan bagaimana pendidikan kolonial yang seharusnya membebaskan justru menciptakan keterasingan. Sistem pendidikan tersebut memperkenalkan cara berpikir dan gaya hidup Barat yang mengakibatkan banyak generasi muda terdidik seperti Hanafi yang mengalami krisis identitas, karena terputus dari akar budayanya namun juga tidak diterima sepenuhnya oleh budaya yang baru.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.