Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rahma Rafila

Perempuan dan Luka Kolonial: Salah Asuhan

Sastra | 2025-05-18 20:58:02

Sastra tidak pernah lahir dalam ruang hampa. Ia merekam, menyampaikan, dan sering kali menggugat realitas sosial yang mengitarinya. Salah satu novel penting dalam khazanah sastra Indonesia adalah Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1928, novel ini telah dicetak ulang puluhan kali, menjadi bukti bahwa kisahnya tetap relevan bahkan hampir seabad sejak pertama kali diterbitkan.

Dokumen Pribadi

Tokoh utama dalam Novel Salah Asuhan bernama Hanafi, ia adalah pemuda cerdas dari Solok yang tumbuh dalam asuhan keluarga Belanda. Pergaulannya yang kental dengan kalangan Eropa membuatnya terjebak dalam krisis identitas. Sejak kecil, ia bersahabat dengan Corrie du Bussee, gadis berdarah campuran Prancis-Minangkabau. Namun, relasi mereka ditentang karena perbedaan kelas dan ras. Saat Corrie pindah ke Batavia dan memutuskan hubungan, Hanafi menikahi Rapiah gadis pribumi pilihan ibunya meski tanpa cinta. Perjalanan hidup Hanafi pun berujung tragis setelah ia kembali menjalin hubungan dengan Corrie, menceraikan Rapiah, dan akhirnya ditolak oleh dua dunia: Dunia Pribumi dan Kolonial.

Novel ini menjadi pintu masuk penting untuk memahami bagaimana perempuan ditempatkan dalam sistem sosial kolonial yang sarat ketimpangan. Dengan pendekatan feminisme poskolonial, khususnya melalui teori Gayatri Spivak dan Chandra Mohanty, kita bisa menggali lebih dalam bagaimana Salah Asuhan merekam pengalaman perempuan yang terjepit antara patriarki dan kolonialisme.

Dua Wajah Penindasan: Rapiah dan CorrieRapiah, perempuan pribumi yang dinikahi Hanafi, mencerminkan wajah paling rentan dalam struktur kolonial: perempuan dari kelas bawah yang hidup dalam sistem patriarki. Ia tidak punya kuasa atas hidupnya sendiri, bahkan pernikahannya pun ditentukan demi "menyenangkan hati ibu" Hanafi. Dalam perspektif Spivak, Rapiah termasuk dalam kelompok subaltern mereka yang suaranya tak pernah benar-benar terdengar. Ia tidak hanya ditindas sebagai perempuan, tetapi juga sebagai warga jajahan.

“Hanafi makin lalu-lalang kepada Rapiah, yang akhirnya dipandangnya bukan lagi 'istri', melainkan 'babu' ”

Kutipan ini menunjukkan bagaimana Rapiah bukan hanya kehilangan status sebagai istri, tapi juga dimarginalisasi menjadi pelayan dalam rumah tangganya sendiri. Ia tidak diberi ruang untuk mencintai, menentukan pilihan, atau bahkan sekadar dihormati sebagai manusia seutuhnya.Corrie, di sisi lain, merupakan perempuan Indo (campuran Eropa dan pribumi) yang mengalami bentuk diskriminasi berbeda. Ia berada di wilayah liminal tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat Eropa, tetapi juga dianggap asing oleh masyarakat pribumi. Ketika Corrie memilih menikahi Hanafi, ia kehilangan status sosialnya. Ia menjadi "najis" di mata bangsanya sendiri, meskipun awalnya ia lebih diistimewakan karena darah Eropanya.

“Badanku rusak, uangku habis, bangsaku melihat kepadaku sebagai kepada najis, itulah namanya ‘membuang diri’.”

Di balik pernyataan Corrie, terbaca betapa kuat stigma yang melekat pada perempuan yang berani menentang norma kolonial. Ia menanggung beban ganda: pengkhianatan Hanafi dan pengucilan sosial. Bahkan saat Hanafi mengakui kesalahannya, luka yang ditinggalkan tak bisa dihapus. Corrie tetap menjadi korban sistem sosial yang kejam terhadap perempuan.Ketika Perempuan Tak Bisa Bicara.

Dalam teori Spivak, pertanyaan “Can the Subaltern Speak?” bukan sekadar soal siapa yang diberi mikrofon, tetapi siapa yang benar-benar didengarkan. Baik Rapiah maupun Corrie menunjukkan bahwa dalam sistem kolonial, perempuan apalagi dari kelompok terpinggirkan tidak punya ruang untuk menentukan nasibnya. Mereka diposisikan sebagai objek dalam konflik identitas dan dominasi laki-laki.

Salah Asuhan dengan jelas menunjukkan bagaimana perempuan mengalami penindasan berbeda tergantung pada kelas, ras, dan posisi sosial mereka. Rapiah tunduk karena sistem menuntutnya untuk tunduk. Corrie berani melawan, namun harus membayar mahal karena melanggar batas-batas rasial yang ditentukan kolonialisme.

Kritik Sosial yang Tak Pernah Usang

Dengan membedah Salah Asuhan lewat pendekatan feminisme poskolonial, kita melihat bahwa novel ini bukan sekadar kisah cinta tragis, tapi juga dokumen sosial tentang bagaimana kolonialisme dan patriarki bekerja sama dalam membungkam suara perempuan. Abdoel Moeis tidak memberi ruang kepada tokoh-tokoh perempuannya untuk "menang" dalam cerita, tapi justru itu yang membuat novel ini jujur dan penting.

Kesadaran ini relevan hingga hari ini, ketika warisan kolonial masih membekas dalam cara kita memandang perempuan, ras, dan kelas sosial. Maka penting untuk membaca karya-karya klasik seperti Salah Asuhan bukan sekadar sebagai pelajaran sejarah, tetapi sebagai ajakan untuk mendengarkan mereka yang selama ini didi bungkam.

Salah satu kelebihan utama novel Salah Asuhan adalah keberaniannya dalam mengangkat isu-isu yang dianggap tabu pada masanya. Abdoel Moeis menulis karya ini di tengah tekanan kolonialisme yang ketat, namun tetap memilih untuk menyuarakan tema cinta antar ras, ketidaksetaraan gender, dan pertentangan nilai antara budaya Timur dan Barat. Gaya penulisan Moeis kaya akan majas, dengan narasi batin tokoh yang dalam namun tetap halus, menjadikan novel ini bukan hanya bacaan, tetapi pengalaman emosional yang menyentuh hati para pembaca.

Novel ini bukan sekadar roman konvensional, melainkan bentuk perlawanan ideologis yang halus tapi tajam. Kekuatan lainnya terletak pada kemampuannya menggambarkan kondisi sosial masyarakat Hindia Belanda secara hidup dan meyakinkan. Status sosial yang ditentukan oleh warna kulit, pendidikan, hingga afiliasi budaya tercermin jelas dalam dinamika antar tokoh, memperlihatkan ketimpangan kelas dan benturan antara adat Minangkabau dengan modernitas Eropa sebuah ketegangan yang masih relevan hingga kini.

Abdoel Moeis juga piawai dalam menyisipkan simbolisme ke dalam tokoh-tokohnya. Hanafi, Corrie, dan Rapiah tak hanya berfungsi sebagai karakter dalam cerita, tetapi mewakili krisis identitas, keterasingan, dan dinamika kuasa. Misalnya, Corrie sebagai perempuan Indo digambarkan sebagai sosok yang “terlalu Belanda untuk jadi pribumi, dan terlalu pribumi untuk jadi Belanda,” simbol dari kegagalan sistem kolonial dalam mengakomodasi identitas ganda. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa Salah Asuhan juga memiliki sejumlah kekurangan, terutama jika dibaca dengan kacamata kritis masa kini.

Salah satu kritik utama datang dari perspektif feminis: karakter perempuan dalam novel ini masih terjebak dalam stereotip. Rapiah digambarkan terlalu pasif, Corrie terlalu tragis, dan keduanya nyaris tak diberi ruang untuk berkembang atau melawan secara aktif. Mereka tetap berada dalam kerangka patriarki, sebagai korban yang suaranya dibungkam.

Kritik juga bisa diarahkan kepada tokoh utama, Hanafi, yang meski bertanggung jawab atas banyak konflik, tidak pernah benar-benar menerima konsekuensi sosial yang setimpal. Ia memang menderita secara psikologis, tetapi sistem yang menopangnya tidak pernah digugat secara tajam. Akhir cerita yang cenderung tragis dan menjadi bahan perdebatan (diskusi). Setiap tokoh yang mencoba keluar dari norma sosial Corrie, Rapiah, hingga Hanafi berakhir dengan kehancuran. Alih-alih membuka ruang untuk perubahan sosial, akhir cerita justru menguatkan pesan bahwa menentang norma akan berujung pada hukuman.

Dalam konteks hari ini, pendekatan semacam itu bisa terasa terlalu fatalistik dan tidak memberi alternatif yang lebih membebaskan.Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Salah Asuhan tetap menjadi karya penting dalam khazanah sastra Indonesia modern. Ia bukan hanya mencerminkan kegelisahan zamannya, tetapi juga membuka ruang bagi pembaca hari ini untuk merefleksikan ulang isu identitas, kelas, dan gender dalam kerangka kolonial maupun pascakolonial.

Membaca Salah Asuhan berarti masuk ke dalam pergulatan batin bangsa yang sedang mencari bentuk, dan dalam proses itu, menemukan bahwa kritik sastra tak hanya soal estetika, tetapi juga soal siapa yang bersuara, dan siapa yang dibungkam.Artikel ini merupakan bagian dari pembacaan kritis terhadap karya klasik Indonesia melalui lensa feminisme poskolonial, dan menjadi upaya kecil untuk mengangkat suara-suara yang pernah dibungkam oleh sistem. Karena, sebagaimana kata Spivak:

"Tugas kita bukan hanya membaca teks, tetapi juga mendengar mereka yang tak sempat menulisnya."

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image