Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Galuh Enggar

Cinta, Identitas, dan Perlawanan dalam Novel Student Hidjo

Sejarah | 2025-05-08 13:50:25
Foto oleh Caio : https://www.pexels.com/id-id/foto/buku-dibuka-tentang-fotografi-fokus-selektif-permukaan-putih-46274/

Novel Student Hidjo karya Marco Kartodikromo (ditulis tahun 1918) adalah salah satu tonggak penting dalam sejarah sastra Indonesia modern. Karya ini bukan sekadar kisah cinta seorang pemuda Jawa yang berangkat ke Belanda, tetapi juga merupakan kritik tajam terhadap kolonialisme, moralitas Barat, dan pencarian jati diri kaum terpelajar bumiputera. Dengan latar kehidupan Hindia Belanda dan Negeri Belanda, novel ini menghadirkan dinamika kebudayaan, benturan nilai, serta potret kegelisahan intelektual dalam menghadapi modernitas dan tekanan kolonial.

Tema Utama: Identitas dan Kritik terhadap Kolonialisme

Student Hidjo memuat tema utama tentang pencarian identitas diri dalam konteks kolonialisme. Marco menghadirkan tokoh Hidjo, seorang pelajar bumiputera yang dikirim belajar ke Delft, Belanda. Hidjo mewakili kelas menengah terpelajar pribumi yang terjebak antara nilai-nilai tradisional Jawa dengan gaya hidup dan godaan dunia Barat.

Melalui tokoh ini, Marco menunjukkan bahwa pendidikan Barat tidak serta-merta membebaskan, melainkan bisa juga menjerumuskan. Salah satu bagian menarik adalah ketika Hidjo menonton pertunjukan opera Faust dan mulai merenungi potensi kehancuran moral akibat gaya hidup hedonis ala Eropa. Pergulatan batin ini menjadi pengantar bagi transformasi karakter Hidjo, dari pemuda idealis menjadi sosok yang goyah akibat godaan perempuan Belanda dan budaya kesenangan.

Pendekatan Teori Pascakolonial

Jika dibaca melalui lensa teori pascakolonial (misalnya Edward Said atau Homi Bhabha), novel ini menyuarakan ketegangan antara pusat dan pinggiran. Hidjo adalah representasi “yang terpinggirkan” yang mencoba meniru budaya penjajah. Dalam konsep mimicry dari Bhabha, Hidjo tampak ingin menjadi seperti orang Eropa, tetapi tetap dianggap “berbeda” dan tidak pernah diterima sepenuhnya. Ketika Hidjo mulai merasakan nikmatnya hubungan intim dengan gadis Eropa (Betje), ia tidak serta-merta mendapatkan penerimaan sosial yang utuh. Sebaliknya, ia menjadi objek eksotisme dan dianggap sebagai pemuda “oriental” yang menarik namun tidak setara.

Marco juga dengan cerdas mengangkat bagaimana bangsa Belanda memperlakukan bumiputera sebagai kelas kedua. Melalui tokoh Controleur Walter yang membela orang Jawa dari ejekan perwira Belanda, novel ini menyuarakan kritik keras terhadap struktur sosial kolonial yang timpang. Dalam hal ini, Marco menulis lebih dari sekadar fiksi—ia menulis manifesto politik tentang kebebasan, kesetaraan, dan martabat bangsa.

Cinta Sebagai Alat Naratif

Cinta dalam Student Hidjo tidak hanya sebagai bumbu cerita, tetapi juga sebagai simbol ketegangan budaya. Cinta Hidjo kepada R.A. Biru (gadis Jawa) dan keterlibatannya dengan Betje (gadis Belanda) mencerminkan dilema budaya. Dengan Biru, Hidjo merasa terikat secara emosional dan spiritual, tetapi cinta mereka harus diuji oleh jarak, waktu, dan intervensi budaya kolonial.

Sementara itu, hubungan dengan Betje menggambarkan tarik-menarik antara keinginan dan etika. Betje adalah simbol Barat yang glamor namun menjerumuskan. Meski sempat larut dalam hubungan ini, pada akhirnya Hidjo merasa bersalah dan tersadar akan identitas serta tanggung jawabnya. Dengan demikian, kisah cinta ini menjadi medium untuk mengekspresikan krisis nilai dan ideologis.

Gaya Bahasa dan Nilai Sosiologis

Student Hidjo ditulis dengan gaya realis dan naratif yang lugas. Bahasa Marco tidak berbunga-bunga, tetapi langsung menyentuh aspek sosial dan budaya masyarakat kolonial. Ia menulis dengan keberanian, mengkritik pemimpin kolonial, merendahkan militer Belanda yang rasis, dan membela martabat bumiputera. Novel ini bukan hanya karya sastra, tetapi juga dokumen sosial yang menunjukkan bagaimana kaum intelektual awal abad 20 mulai sadar akan pentingnya perjuangan dan harga diri bangsa.

Kesimpulan

Student Hidjo adalah karya yang memadukan kesadaran politik, konflik budaya, dan pergolakan psikologis dalam diri seorang pemuda Jawa modern. Melalui tokoh Hidjo, Marco Kartodikromo tidak hanya menulis cerita perjalanan ke Belanda, tetapi juga perjalanan menuju kebangkitan identitas nasional. Dengan pendekatan pascakolonial dan bahasa yang menggugah, novel ini layak dibaca ulang hari ini sebagai pengingat bahwa pendidikan, cinta, dan kebebasan adalah arena perjuangan dalam menghadapi dominasi dan kekuasaan.

Referensi

Kartodikromo, M. (2010). Student Hidjo. Media Pressindo.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image